Dia yang Salah
Dia bersalah selama ini. Aku tdak boleh kemakan cinta sesaatnya yang hanya mau memanfaatkan keadaan.
Sejak awal, dia yang tidak bisa melihat ketulusanku. Dia yang meremehkan perasaanku. Dia yang selalu merasa aku adalah pengganggu.
Saat itu, aku pergi, hanya untuk membiarkannya merasakan hidup tanpa aku. Buktinya bisa, walau tidak ada penggantinya.
Tapi aku? Tidak bisa, rasanya hati itu harus diobati, akibat luka yang sudah cukup lama dibiarkan.
Luka itu, aku cari obatnya sendiri. Walau aku tau obat itu bukan yang sesuai dengan penyakitnya. Setidaknya luka itu sedikit tidak perih agar bisa berjalan sedikit lebih lama dalam hidup.
Tapi kembali, luka itu tergores karena masih mencari obatnya. Hanya saja, ternyata obat itu sulit ditemukan. Semakin lama, semakin tergores karena aku terlalu banyak gerak. Semakin hari, semakin terasa perih.
Kini, membuat tubuh ini demam, tidak bisa melakukan apa-apa. Lima hari sudah demam itu meradang. Bahkan didiamkan saja tidak bisa reda.
Bagaimana harus disembuhkan jika obatnya saja sulit ditemukan. Ada harga yang harus dibayar untuk mengobati luka itu. Obat itu, tidak murah, juga tidak mudah.
Lantas bagaimana menyiasatinya? Bertahan dengan luka yang semakin perih, atau diobati dengan harga mahal?
Belum bisa ku putuskan, rasanya biarkan saja aku nikmati sampai aku bisa sembuh sendiri. Walau entah kapan terjadi.
Luka lama
Lantas bagaimana bisa itu terluka?
Begini, aku sebenarnya dalam keadaan baik-baik saja. Sekitar 14 tahun silam.
Aku yang sedang sehat, berjalan lenggang dengan nyaman di muka bumi. Menjalani hari-hari dengan damai, tanpa luka atau perih.
Semua berjalan baik-baik saja. Sampai aku melihat mawar yang indah, yang ternyata tumbuh tidak jauh dari tempat bermainku.
Aku melihatnya, sangat biasa. Tidak begitu tertarik akan mawar yang merona. Sebab aku trauma, mawar punya duri yang cukup runcing, jika salah pegang, aku bisa tertusuk dan sakit.
Lambat hari, mawar itu terus mencari perhatianku, bergoyang indah saat tertiup angin. Tetap basah saat diterpa hujan. Namun tidak lantas kembangnya itu putik dari tangkainya ketika diterjang badai.
Semakin aku berusaha biasa saja, sang mawar rasanya terus saja menggoda. Sudah ku usahakan untuk ku campakan dia, karena aku kurang tertarik dengan rona merahnya. Tapi gagal, dia justru semakin menarik perhatianku ketika aku melenggang menjauh dari tempatnya tumbuh.
Aku yang tergoda dengan keindahan lambaiannya, membuat aku memutuskan mendekat. Alih-alih sambil melihat apakah ada yang menarik dari si merah merona itu, aku justru melihatnya seperti sebuah Lily yang bersih.
*
Aku kenal bunga ini, dia pernah ada di pekarangan tempatku bermain saat dulu dengan kembang yang ku suka. Edelweis namanya. Tapi ternyata tidak bisa abadi seperti namanya, namun dia sosok bunga yang kokoh diantara lainnya.
Singkat aku sedikit menceritakan si edelweis itu, dia kembang yang sangat menarik, karena ku bisa melihatnya dari bukit yang cukup tinggi untuk didaki. Tidak sembarang tempat dia tumbuh, tapi sekalinya hadir, dia abadi.
Disanalah aku bermain, di sebuah bukit yang aku sendiri sempat sulit untuk turun darinya. Hingga sedikit terpeleset namun aku putuskan untuk tidak lagi mendaki untuk mencarinya.
*
Kembali kepada si bunga mawar, namun yang ku lihat adalah Lily. Dia ku temukan duduk manis di sebuah pekarangan, dengan lembut menyambutku bak sudah lama ingin menyapa.
Aku yang memang sengaja menghampirinya, cukup antusias karena si merah merona itu menarik perhatianku akhir-akhir ini.
Sapaan dan lambaiannya membuatku semakin penasaran bagaimana kembang ini bisa tumbuh, di tempat yang berbeda namun pada ingatan yang sama. Aku terima lambaiannya, bak aku ingin membawanya pulang ke rumah, tapi aku takut merusaknya.
Sebut saja sekarang dia adalah Lily. Aku mendekat dan menyapa, mengamati dari dekat untuk memutuskan akan aku bawa kemana kembang ini jika aku benar-benar tertarik kepadanya.
Singkat saja, dia tidak banyak bereaksi dengan lambaianku, tapi dia cukup antusias pula ketika aku berusaha menyapa. Oh, jika kau tau bagaimana perasaanku? Aku cukup bahagia saat itu.
*
Kisah ini aku tulis di era sangat modern, dimana aku tak menyukai bunga, sebab khawatir tidak bisa merawatnya.
Tapi kisah ini aku sampaikan kepada kalian pembaca, bahwa aku pernah merawat kembang itu, dengan warna yang berubah-ubah. Sedikit merasa bahagoa, namun nyatanya menyakitkan hingga akhir.
*
Sapaan pertamaku, membuatku seperti berharap, ada kembang lain yang aku suka selain Edelweis yang membuatku seperti ingin terbang di atas awan. Bedanya ini adalah Lily, kembang yang tumbuh di dataran tidak begitu tinggi tapi butuh tempat yang dingin untuk bisa merawatnya.
Aku tidak begitu pintar merawat bunga, sebab yang sudah-sudah, justru mati tak bernyawa. Akhirnya membuatku patah hati untuk mencoba merawatnya kembali agar bisa berkembang atau justru membuahkan tunas baru untuk bertahan lebih lama.
Kali ini, aku punya tekad yang baik untuk melirik Lily sedikit lebih lama. Setiap ku pulang belajar, aku memandanginya dengan rasa yang sedikit berbeda. Aku suka dia, rasanya dia bukanlah sebuah mawar yang berduri, tapi sebuah Lily yang bersih.
****
Konsentrasiku sedikit berubah setelah bertemu Lily, aku jadi lebih suka memandanginya, bermain dengannya, atau hanya sekedar tukar sapa. Sang Lily pun rasanya memiliki ketertarikan denganku, aku yakin dia berharap diadopsi.
Tapi lagi-lagi, aku belum yakin aku mampu. Aku takut saat aku menyentuhnya, dia kembali menjadi setangkai mawar merah yang melulai aku.
Waktupun berjalan tidak begitu cepat, juga tak sangat lambat. Biasa saja, selayaknya waktu yang berputar di bumi. Tapi bagiku, yang rasanya sedang jatuh cinta kepada sang Lily, waktu itu menjadi cepat sekali.
Jika 24 jam bagimu cukup untuk menempuh perjalanan Jakarta-Malang pergi pulang dengan kereta api. Aku masih di pekarangan yang sama. Hanya bermain, memandangi Lily itu, sambil belum memutuskan akan aku rawat atau aku tinggalkan dia.
Bersambung...
Comments
Post a Comment